Opini,
Kesejahteraan Aparat Penegak Hukum Untuk Pemberantasan Mafia Hukum
Posted by Pasha Karya Mandiri
Published on Kamis, 21 Februari 2013
Sekilas Soal Mafia Hukum
H. Sarifuddin Sudding, SH.,MH.
Praktik mafia hukum telah menjadi istilah yang sehari-hari mewarnai
proses penegakan hukum saat ini. Istilah mafia hukum ini berkembang
seiring dengan banyaknya penanganan kasus-kasus hukum yang melibatkan
para elit politik, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Tidak
hanya itu, istilah mafia hukum juga tumbuh subur dalam institusi
peradilan yang berakibat menurunnya kepercayaan dan kepatuhan masyarakat
terhadap institusi peradilan. Dalam tataran praktek, istilah mafia
hukum ini kemudian menjelma menjadi stigma yang senantiasa melekat
dibalik proses penegakan hukum sampai pada vonis hakim.
Tentunya
istilah mafia hukum tersebut muncul berdasarkan fakta yang dialami oleh
masyarakat pencari keadilan yang kecewa terhadap proses penegakan hukum
di Indonesia. Alih-alih hukum dapat memberikan keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum, sebaliknya dalam praktek keadilan seakan menjadi
barang mahal dan ilusi bagi masyarakat pencari keadilan. Keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum seakan hanya menjadi nyata ketika
disuguhkan ke dalam ide dan wacana yang mewarnai diskursus tentang hukum
dan keadilan. Ironisnya, keadilan justru acapkali menjadi barang
dagangan dimana siapa yang memiliki banyak uang dialah yang akan
memperoleh keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Demikian
tragisnya tujuan hukum diperdagangkan, sehingga dalam kondisi inilah
masyarakat dihinggapi rasa frustasi dan menstigmatisasi proses penegakan
hukum dengan praktek mafia hukum.
Tentu kita semua tidak dapat
menafikkan jika memang praktek penegakan hukum saat ini senantiasa
dipengaruhi oleh praktek mafia hukum yang melibatkan aktor-aktor penegak
hukum itu sendiri. Parahnya kemudian, institusi peradilan yang
diharapkan sebagai benteng terakhir (the last resort) bagi pencari
keadilan juga tidak luput dari praktek mafia hukum ini. Belum hilang
dalam ingatan kita semua kasus-kasus yang melibatkan oknum kepolisian,
kejaksaan dan hakim yang ditangkap, didakwa, dan divonis melakukan
tindak pidana korupsi, beberapa saat yang lalu kita semua terperanjat
dengan adanya dugaan pemalsuan putusan peninjauan kembali kasus narkoba
yang melibatkan salah seorang Hakim Agung yang mengubah vonis 15 tahun
menjadi 12 tahun penjara. Tentunya, fakta-fakta tersebut menegaskan
kepada kita semua bahwa praktek mafia hukum merupakan salah satu masalah
krusial yang dihadapi oleh bangsa saat ini.
Minimnya Kesejahteraan Aparat Penegak Hukum
Banyak
faktor yang menjadi penyebab tumbuh suburnya praktek mafia hukum.
Disamping masalah sistem penegakan hukum yang amburadul, faktor
kesejahteraan penegak hukum yang belum memadai adalah salah satu faktor
tumbuh suburnya praktik mafia hukum baik dipusat maupun di daerah.
Faktor minimnya kesejahteraan aparat penegak hukum ini selama
bertahun-tahun telah dikeluhkan oleh aparat penegak hukum. Walaupun kita
semua menyadari bahwa faktor minimnya kesejahteraan aparat penegak
hukum ini hanyalah merupakan salah satu faktor saja dari buruknya
penegakan hukum, akan tetapi hal ini menjadi penting mengingat faktor
kesejahteraan memiliki implikasi yang sangat besar terhadap peningkatan
kinerja dan profesionalisme aparat penegak hukum.
Terdapat
prinsip dasar yang tentunya sama-sama kita ketahui bahwa setiap orang
yang bekerja baik di instansi pemerintah, swasta, maupun institusi
penegak hukum tentu mengharapkan imbalan (reward) dari apa yang telah
dikerjakannya. Faktor gaji atau bonus merupakan faktor penghargaan atas
pekerjaan yang dijalankan yang mempengaruhi kebutuhan dalam kehidupan
sehari-hari. Bagaimana mungkin, seorang aparat penegak hukum mampu
bekerja secara profesional jika masih harus memikirkan masalah
biaya-biaya yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Dalam konteks ini, maka
penegak hukum yang seyogyanya mengemban tugas yang cukup berat dalam
kesehariannya pasti juga mengharapkan imbalan yang sesuai dan layak
dengan kondisi saat ini. Banyak hal yang dapat dijadikan contoh, yang
tentunya menjadi faktor terpengaruh dengan kinerja aparat penegak hukum.
Misalnya, jika kita membandingkan kinerja penyidik dan jaksa yang
bekerja di institusi KPK dengan institusi Polri maupun Kejaksaan. Tentu
selisih gaji antara penyidik polisi dan jaksa yang bernaung di bawah
institusi KPK dibandingkan dengan penyidik dan jaksa di bawah institusi
Kejaksaan dan Kepolisian, jauh berbeda.
Demikian pula bagi aparat
peradilan (hakim), dimana berdasarkan peraturan perundang-undangan
status hakim diakui sebagai pejabat negara dan pegawai negeri sipil,
akan tetapi sebagai pejabat negara hakim tidak memperoleh fasilitas
sebagaimana layaknya seorang pejabat negara. Apalagi bagi aparat penegak
hukum yang bertugas didaerah-daerah khususnya daerah perbatasan.
Tentunya ukuran kesejahteraan yang diterima masih sangat jauh dari
kriteria kelayakan jika disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Apa Yang Bisa Dilakukan
Tuntutan
terhadap penyesuaian peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum
inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan sehingga pemerintah dan
legislatif harus meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum untuk
mewujudkan lembaga hukum yang bersih dari praktek mafia hukum. Salah
satunya melalui kebijakan pemberian tunjangan kinerja atau remunerasi
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan guna mewujudkan “clean and
good governance”.
Khusus bagi Hakim, dengan adanya PP No. 94
Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada Dibawah
Mahkamah Agung, yang ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 2012
diharapkan dengan adanya Peraturan Pemerintah tersebut, kinerja para
Hakim dapat lebih ditingkatkan, agar tidak ada pelanggaran yang
dilakukan oleh para Hakim lagi.
Oleh karena sebagai wakil Tuhan,
para Hakim juga diharapkan agar dapat memutus perkara yang
sebenar-benarnya dengan mengedepankan azas keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Hak keuangan dan fasilitas hakim terdiri dari 10 macam
yang meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas
transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan
dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun dan tunjangan lain.
(Dalam Lampiran PP itu disebutkan tunjangan Ketua Pengadilan Tingkat
Banding sebesar Rp 40,2 juta dan hakim pemula (masa kerja 0 tahun) untuk
pengadilan Kelas II sebesar Rp 8,5 juta. Lalu, hakim pemula (pratama)
untuk pengadilan Kelas IA sebesar Rp 11,8 juta. Sedangkan gaji pokok
hakim pemula golongan IIIA sebesar Rp 2,064 juta, sehingga take home pay
gaji hakim pemula sekitar Rp10,5 juta).
Namun demikian,
kebijakan pemberian tunjangan kinerja atau remunerasi bagi aparat
penegak hukum ini harus disertai dengan pembenahan internal institusi
aparat penegak hukum itu sendiri baik dalam konteks peningkatan kualitas
sumber daya manusia, pembenahan manajemen organisasi, maupun penegakan
kode etik dan disiplin. Apabila hal ini dilakukan secara konsisten dan
disertai dengan pengawasan yang ketat, tentunya peningkatan
kesejahteraan bagi aparat penegak hukum mampu mengurangi maraknya
praktek mafia hukum.
1 komentar
Tulis Komentar Anda
24 Oktober 2013 pukul 20.29
nice posting