DAPIL 1 BONE : TANETE RIATTANG TIMUR, TANETE RIATTANG BARAT, TANETE RIATTANG, DAN PALAKKA
twitter facebook rss

,

Kesejahteraan Aparat Penegak Hukum Untuk Pemberantasan Mafia Hukum

Sekilas Soal Mafia Hukum
H. Sarifuddin Sudding, SH.,MH.
Praktik mafia hukum telah menjadi istilah yang sehari-hari mewarnai proses penegakan hukum saat ini. Istilah mafia hukum ini berkembang seiring dengan banyaknya penanganan kasus-kasus hukum yang melibatkan para elit politik, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Tidak hanya itu, istilah mafia hukum juga tumbuh subur dalam institusi peradilan yang berakibat menurunnya kepercayaan dan kepatuhan masyarakat terhadap institusi peradilan. Dalam tataran praktek, istilah mafia hukum ini kemudian menjelma menjadi stigma yang senantiasa melekat dibalik proses penegakan hukum sampai pada vonis hakim.
Tentunya istilah mafia hukum tersebut muncul berdasarkan fakta yang dialami oleh masyarakat pencari keadilan yang kecewa terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Alih-alih hukum dapat memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, sebaliknya dalam praktek keadilan seakan menjadi barang mahal dan ilusi bagi masyarakat pencari keadilan. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum seakan hanya menjadi nyata ketika disuguhkan ke dalam ide dan wacana yang mewarnai diskursus tentang hukum dan keadilan. Ironisnya, keadilan justru acapkali menjadi barang dagangan dimana siapa yang memiliki banyak uang dialah yang akan memperoleh keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Demikian tragisnya tujuan hukum diperdagangkan, sehingga dalam kondisi inilah masyarakat dihinggapi rasa frustasi dan menstigmatisasi proses penegakan hukum dengan praktek mafia hukum.
Tentu kita semua tidak dapat menafikkan jika memang praktek penegakan hukum saat ini senantiasa dipengaruhi oleh praktek mafia hukum yang melibatkan aktor-aktor penegak hukum itu sendiri. Parahnya kemudian, institusi peradilan yang diharapkan sebagai benteng terakhir (the last resort) bagi pencari keadilan juga tidak luput dari praktek mafia hukum ini. Belum hilang dalam ingatan kita semua kasus-kasus yang melibatkan oknum kepolisian, kejaksaan dan hakim yang ditangkap, didakwa, dan divonis melakukan tindak pidana korupsi, beberapa saat yang lalu kita semua terperanjat dengan adanya dugaan pemalsuan putusan peninjauan kembali kasus narkoba yang melibatkan salah seorang Hakim Agung yang mengubah vonis 15 tahun menjadi 12 tahun penjara. Tentunya, fakta-fakta tersebut menegaskan kepada kita semua bahwa praktek mafia hukum merupakan salah satu masalah krusial yang dihadapi oleh bangsa saat ini.
Minimnya Kesejahteraan Aparat Penegak Hukum
Banyak faktor yang menjadi penyebab tumbuh suburnya praktek mafia hukum. Disamping masalah sistem penegakan hukum yang amburadul, faktor kesejahteraan penegak hukum yang belum memadai adalah salah satu faktor tumbuh suburnya praktik mafia hukum baik dipusat maupun di daerah. Faktor minimnya kesejahteraan aparat penegak hukum ini selama bertahun-tahun telah dikeluhkan oleh aparat penegak hukum. Walaupun kita semua menyadari bahwa faktor minimnya kesejahteraan aparat penegak hukum ini hanyalah merupakan salah satu faktor saja dari buruknya penegakan hukum, akan tetapi hal ini menjadi penting mengingat faktor kesejahteraan memiliki implikasi yang sangat besar terhadap peningkatan kinerja dan profesionalisme aparat penegak hukum.
Terdapat prinsip dasar yang tentunya sama-sama kita ketahui bahwa setiap orang yang bekerja baik di instansi pemerintah, swasta, maupun institusi penegak hukum tentu mengharapkan imbalan (reward) dari apa yang telah dikerjakannya. Faktor gaji atau bonus merupakan faktor penghargaan atas pekerjaan yang dijalankan yang mempengaruhi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mungkin, seorang aparat penegak hukum mampu bekerja secara profesional jika masih harus memikirkan masalah biaya-biaya yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Dalam konteks ini, maka penegak hukum yang seyogyanya mengemban tugas yang cukup berat dalam kesehariannya pasti juga mengharapkan imbalan yang sesuai dan layak dengan kondisi saat ini. Banyak hal yang dapat dijadikan contoh, yang tentunya menjadi faktor terpengaruh dengan kinerja aparat penegak hukum. Misalnya, jika kita membandingkan kinerja penyidik dan jaksa yang bekerja di institusi KPK dengan institusi Polri maupun Kejaksaan. Tentu selisih gaji antara penyidik polisi dan jaksa yang bernaung di bawah institusi KPK dibandingkan dengan penyidik dan jaksa di bawah institusi Kejaksaan dan Kepolisian, jauh berbeda.
Demikian pula bagi aparat peradilan (hakim), dimana berdasarkan peraturan perundang-undangan status hakim diakui sebagai pejabat negara dan pegawai negeri sipil, akan tetapi sebagai pejabat negara hakim tidak memperoleh fasilitas sebagaimana layaknya seorang pejabat negara. Apalagi bagi aparat penegak hukum yang bertugas didaerah-daerah khususnya daerah perbatasan. Tentunya ukuran kesejahteraan yang diterima masih sangat jauh dari kriteria kelayakan jika disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Apa Yang Bisa Dilakukan
Tuntutan terhadap penyesuaian peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan sehingga pemerintah dan legislatif harus meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum untuk mewujudkan lembaga hukum yang bersih dari praktek mafia hukum. Salah satunya melalui kebijakan pemberian tunjangan kinerja atau remunerasi yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan guna mewujudkan “clean and good governance”.
Khusus bagi Hakim, dengan adanya PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada Dibawah Mahkamah Agung, yang ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 2012 diharapkan dengan adanya Peraturan Pemerintah tersebut, kinerja para Hakim dapat lebih ditingkatkan, agar tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh para Hakim lagi.
Oleh karena sebagai wakil Tuhan, para Hakim juga diharapkan agar dapat memutus perkara yang sebenar-benarnya dengan mengedepankan azas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hak keuangan dan fasilitas hakim terdiri dari 10 macam yang meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun dan tunjangan lain. (Dalam Lampiran PP itu disebutkan tunjangan Ketua Pengadilan Tingkat Banding sebesar Rp 40,2 juta dan hakim pemula (masa kerja 0 tahun) untuk pengadilan Kelas II sebesar Rp 8,5 juta. Lalu, hakim pemula (pratama) untuk pengadilan Kelas IA sebesar Rp 11,8 juta. Sedangkan gaji pokok hakim pemula golongan IIIA sebesar Rp 2,064 juta, sehingga take home pay gaji hakim pemula sekitar Rp10,5 juta).
Namun demikian, kebijakan pemberian tunjangan kinerja atau remunerasi bagi aparat penegak hukum ini harus disertai dengan pembenahan internal institusi aparat penegak hukum itu sendiri baik dalam konteks peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembenahan manajemen organisasi, maupun penegakan kode etik dan disiplin. Apabila hal ini dilakukan secara konsisten dan disertai dengan pengawasan yang ketat, tentunya peningkatan kesejahteraan bagi aparat penegak hukum mampu mengurangi maraknya praktek mafia hukum.

1 komentar

Tulis Komentar Anda


Latest Posts

Sponsored By

JANGAN DITIRU DI RUMAH YA . . .!!!

Our Sponsors

ANDI MAPPAKAYA MENYAPA ANDA

 ANDI MAPPAKAYA